Rabu, 05 Oktober 2011

Seks Dengan Guru SMA Ku

Cerita seks. Sebuah cerita seks yang
menurutku paling seru, karena dengan cerita ini
maka seseorang akan merasakan sensasi persis
seperti yang kurasakan beberapa waktu yang lalu.
Cerita seks tersebut begini, berawal dari reuni
SMA-ku di Jakarta. Setelah itu aku bertemu
dengan guru bahasa inggrisku, kami ngobrol
dengan akrabnya. Ternyata Ibu Shinta masih
segar bugar dan amat menggairahkan.
Penampilannya amat menakjubkan, memakai rok
mini yang ketat, kaos top tank sehingga lekuk
tubuhnya nampak begitu jelas.
Jelas saja dia
masih muda sebab sewaktu aku SMA dulu dia
adalah guru termuda yang mengajar di sekolah
kami. Sekolahku itu cuma terdiri dari dua kelas,
kebanyakan siswanya adalah wanita. Cukup lama
aku ngobrol dengan Ibu Shinta, kami rupanya
tidak sadar waktu berjalan dengan cepat sehingga
para undangan harus pulang. Lalu kami pun
berjalan munuju ke pintu gerbang sambil
menyusuri ruang kelas tempatku belajar waktu
SMA dulu.
Tiba-tiba Ibu Shinta teringat bahwa tasnya
tertinggal di dalam kelas sehinga kami terpaksa
kembali ke kelas. Waktu itu kira-kira hampir jam
dua belas malam, tinggal kami berdua. Lampu-
lampu di tengah lapangan saja yang tersisa.
Sesampainya di kelas, Ibu Shinta pun mengambil
tasnya kemudian aku teringat akan masa lalu
bagaimana rasanya di kelas bersama dengan
teman-teman. Lamunanku buyar ketika Ibu
Shinta memanggilku.
“Kenapa Jack”
“Ah.. tidak apa-apa”, jawabku. (sebetulnya
suasana hening dan amat merinding itu
membuat hasratku bergejolak apalagi ada Ibu
Shinta di sampingku, membuat jantungku selalu
berdebar-debar).
“Ayo Jack kita pulang, nanti Ibu kehabisan
angkutan”, kata Ibu Shinta.
“Sebaiknya Ibu saya antar saja dengan mobil
saya”, jawabku dengan ragu-ragu.
“Terima kasih Jack”.
Tanpa sengaja aku mengutarakan isi hatiku
kepada Ibu Shinta bahwa aku suka kepadanya,
“Oh my God what i’m doing”, dalam hatiku.
Ternyata keadaan berkata lain, Ibu Shinta terdiam
saja dan langsung keluar dari ruang kelas. Aku
panik dan berusaha minta maaf. Ibu Shinta
ternyata sudah cerai dengan suaminya yang bule
itu, katanya suaminya pulang ke negaranya. Aku
tertegun dengan pernyataan Ibu Shinta. Kami
berhenti sejenak di depan kantornya lalu Ibu
Shinta mengeluarkan kunci dan masuk ke
kantornya, kupikir untuk apa masuk ke dalam
kantornya malam-malam begini. Aku semakin
penasaran lalu masuk dan bermaksud
mengajaknya pulang tapi Ibu Shinta menolak.
Aku merasa tidak enak lalu menunggunya,
kurangkul pundak Ibu Shinta, dengan cepat Ibu
Shinta hendak menolak tetapi ada kejadian yang
tak terduga, Ibu Shinta menciumku dan aku pun
membalasnya.
Ohh.., alangkah senangnya aku ini, lalu dengan
cepat aku menciumnya dengan segala
kegairahanku yang terpendam. Ternyata Ibu
Shinta tak mau kalah, ia menciumku dengan
hasrat yang sangat besar mengharapkan
kehangatan dari seorang pria. Dengan sengaja
aku menyusuri dadanya yang besar, Ibu Shinta
terengah sehingga ciuman kami bertambah
panas kemudian terjadi pergumulan yang sangat
seru. Ibu Shinta memainkan tangannya ke arah
batang kemaluanku sehingga aku sangat
terangsang. Lalu aku meminta Ibu Shinta
membuka bajunya, satu persatu kancing bajunya
dibukanya dengan lembut, kutatap dengan penuh
hasrat. Ternyata dugaanku salah, dadanya yang
kusangka kecil ternyata amat besar dan indah,
BH-nya berwarna hitam berenda yang modelnya
amat seksi.
Karena tidak sabar maka kucium lehernya dan kini
Ibu Shinta setengah telanjang, aku tidak mau
langsung menelanjanginya, sehingga perlahan-
lahan kunikmati keindahan tubuhnya. Aku pun
membuka baju sehingga badanku yang tegap
dan atletis membangkitkan gairah Ibu Shinta,
“Jack kukira Ibu mau bercinta denganmu
sekarang.., Jack, tutup pintunya dulu dong”,
bisiknya dengan suara agak bergetar, mungkin
menahan birahinya yang juga mulai naik
Tanpa disuruh dua kali, secepat kilat aku segera
menutup pintu depan. Tentu agar keadaan aman
dan terkendali. Setelah itu aku kembali ke Ibu
Shinta. Kini aku jongkok di depannya. Menyibak
rok mininya dan merenggangkan kedua kakinya.
Wuih, betapa mulus kedua pahanya. Pangkalnya
tampak menggunduk dibungkus celana dalam
warna hitam yang amat minim. Sambil mencium
pahanya tanganku menelusup di pangkal
pahanya, meremas-remas liang senggamanya
dan klitorisnya yang juga besar. Lidahku makin
naik ke atas. Ibu Shinta menggelinjang kegelian
sambil mendesah halus. Akhirnya jilatanku
sampai di pangkal pahanya.
“Mau apa kau sshh… sshh”, tanyanya lirih sambil
memegangi kapalaku erat-erat.
“Ooo… oh.. oh..”, desis Ibu Shinta keenakan
ketika lidahku mulai bermain-main di gundukan
liang kenikmatannya. Tampak dia keenakan meski
masih dibatasi celana dalam.
Serangan pun kutingkatkan. Celananya
kulepaskan. Sekarang perangkat rahasia miliknya
berada di depan mataku. Kemerahan dengan
klitoris yang besar sesuai dengan dugaanku. Di
sekelilingnya ditumbuhi rambut yang tidak begitu
lebat. Lidahku kemudian bermain di bibir
kemaluannya. Pelan-pelan mulai masuk ke dalam
dengan gerakan-gerakan melingkar yang
membuat Ibu Shinta makin keenakan, sampai
harus mengangkat-angkat pinggulnya. “Aahh…
Kau pintar sekali. Belajar dari mana hh…”
Tanpa sungkan-sungkan Ibu Shinta mencium
bibirku. Lalu tangannya menyentuh celanaku
yang menonjol akibat batang kemaluanku yang
ereksi maksimal, meremas-remasnya beberapa
saat. Betapa lembut ciumannya, meski masih
polos. Aku segera menjulurkan lidahku,
memainkan di rongga mulutnya. Lidahnya kubelit
sampai dia seperti hendak tersendak. Semula Ibu
Shinta seperti akan memberontak dan
melepaskan diri, tapi tak kubiarkan. Mulutku
seperti melekat di mulutnya. “Uh kamu
pengalaman sekali ya. Sama siapa? Pacarmu?”,
tanyanya diantara kecipak ciuman yang membara
dan mulai liar. Aku tak menjawab. Tanganku
mulai mempermainkan kedua payudaranya yang
tampak menggairahkan itu. Biar tidak
merepotkanku, BH-nya kulepas. Kini dia telanjang
dada. Tak puas, segera kupelorotkan rok mininya.
Nah kini dia telanjang bulat. Betapa bagus
tubuhnya. Padat, kencang dan putih mulus.
“Nggak adil. Kamu juga harus telanjang..” Ibu
Shinta pun melucuti kaos, celanaku, dan terakhir
celana dalamku. Batang kemaluanku yang tegak
penuh segera diremas-remasnya. Tanpa
dikomando kami rebah di atas ranjang,
berguling-guling, saling menindih. Aku
menunduk ke selangkangannya, mencari pangkal
kenikmatan miliknya. Tanpa ampun lagi mulut
dan lidahku menyerang daerah itu dengan liar.
Ibu Shinta mulai mengeluarkan jeritan-jeritan
tertahan menahan nikmat. Hampir lima menit
kami menikmati permainan itu. Selanjutnya aku
merangkak naik. Menyorongkan batang
kemaluanku ke mulutnya.
“Gantian dong..” Tanpa menunggu jawabannya
segera kumasukkan batang kemaluanku ke
mulutnya yang mungil. Semula agak kesulitan,
tetapi lama-lama dia bisa menyesuaikan diri
sehingga tak lama batang kemaluanku masuk ke
rongga mulutnya. “Justru di situ nikmatnya..,
Selama ini sama suami main seksnya gimana?”,
tanyaku sambil menciumi payudaranya. Ibu
Shinta tak menjawab. Dia malah mencium bibirku
dengan penuh gairah. Tanganku pun secara
bergantian memainkan kedua payudaranya yang
kenyal dan selangkangannya yang mulai basah.
Aku tahu, perempuan itu sudah kepengin
disetubuhi. Namun aku sengaja membiarkan dia
menjadi penasaran sendiri.
Tetapi lama-lama aku tidak tahan juga, batang
kemaluanku pun sudah ingin segera menggenjot
liang kenikmatannya. Pelan-pelan aku
mengarahkan barangku yang kaku dan keras itu
ke arah selangkangannya. Ketika mulai
menembus liang kenikmatannya, kurasakan
tubuh Ibu Shinta agak gemetar. “Ohh…”,
desahnya ketika sedikit demi sedikit batang
kemaluanku masuk ke liang kenikmatannya.
Setelah seluruh barangku masuk, aku segera
bergoyang naik turun di atas tubuhnya. Aku
makin terangsang oleh jeritan-jeritan kecil,
lenguhan serta kedua payudaranya yang ikut
bergoyang-goyang.
Tiga menit setelah kugenjot, Ibu Shinta
menjepitkan kedua kakinya ke pinggangku.
Pinggulnya dinaikkan. Tampaknya dia akan
orgasme. Genjotan batang kemaluanku
kutingkatkan. “Ooo… ahh… hmm… ssshh…”,
desahnya dengan tubuh menggelinjang menahan
kenikmatan puncak yang diperolehnya. Kubiarkan
dia menikmati orgasmenya beberapa saat.
Kuciumi pipi, dahi, dan seluruh wajahnya yang
berkeringat. “Sekarang Ibu Shinta berbalik.
Menungging di atas meja.., sekarang kita main
dong di atas meja ok!” Aku mengatur badannya
dan Ibu Shinta menurut. Dia kini bertumpu pada
siku dan kakinya. “Gaya apa lagi ini?”, tanyanya.
Setelah siap aku pun mulai menggenjot dan
menggoyang tubuhnya dari belakang. Ibu Shinta
kembali menjerit dan mendesah merasakan
kenikmatan yang tiada taranya, yang mungkin
selama ini belum pernah dia dapatkan dari
suaminya. Setelah dia orgasme sampai dua kali,
kami istirahat.
“Capek?”, tanyaku. “Kamu ini aneh-aneh saja.
Sampai mau remuk tulang-tulangku”.
“Tapi kan nikmat Bu..”, jawabku sambil kembali
meremas payudaranya yang menggemaskan.
“Ya deh kalau capek. Tapi tolong sekali lagi, aku
pengin masuk agar spermaku keluar. Nih sudah
nggak tahan lagi batang kemaluanku. Sekarang
Ibu Shinta yang di atas”, kataku sambil mengatur
posisinya.
Aku terletang dan dia menduduki pinggangku.
Tangannya kubimbing agar memegang batang
kemaluanku masuk ke selangkangannya. Setelah
masuk tubuhnya kunaik-turunkan seirama
genjotanku dari bawah. Ibu Shinta tersentak-
sentak mengikuti irama goyanganku yang makin
lama kian cepat. Payudaranya yang ikut
bergoyang-goyang menambah gairah nafsuku.
Apalagi diiringi dengan lenguhan dan jeritannya
saat menjelang orgasme. Ketika dia mencapai
orgasme aku belum apa-apa. Posisinya segera
kuubah ke gaya konvensional. Ibu Shinta
kurebahkan dan aku menembaknya dari atas.
Mendekati klimaks aku meningkatkan frekuensi
dan kecepatan genjotan batang kemaluanku. “Oh
Ibu Shinta.., aku mau keluar nih ahh..” Tak lama
kemudian spermaku muncrat di dalam liang
kenikmatannya. Ibu Shinta kemudian menyusul
mencapai klimaks. Kami berpelukan erat.
Kurasakan liang kenikmatannya begitu hangat
menjepit batang kemaluanku. Lima menit lebih
kami dalam posisi rileks seperti itu.
Kami berpelukan, berciuman, dan saling
meremas lagi. Seperti tak puas-puas merasakan
kenikmatan beruntun yang baru saja kami
rasakan. Setelah itu kami bangun di pagi hari,
kami pergi mencari sarapan dan bercakap-cakap
kembali. Ibu Shinta harus pergi mengajar hari itu
dan sorenya baru bisa kujemput.
Sore telah tiba, Ibu Shinta kujemput dengan
mobilku. Kita makan di mall dan kami pun
beranjak pulang menuju tempat parkir. Di tempat
parkir itulah kami beraksi kembali, aku mulai
menciumi lehernya. Ibu Shinta mendongakkan
kepala sambil memejamkan mata, dan tanganku
pun mulai meremas kedua buah dadanya. Nafas
Ibu Shinta makin terengah, dan tanganku pun
masuk di antara kedua pahanya. Celana dalamnya
sudah basah, dan jariku mengelus belahan yang
membayang. “Uuuhh.., mmmhh..”, Ibu Shinta
menggelinjang, tapi gairahku sudah sampai ke
ubun-ubun dan aku pun membuka dengan paksa
baju dan rok mininya.
Aaahh..! Ibu Shinta dengan posisi yang
menantang di jok belakang dengan memakai BH
merah dan CD merah. Aku segera mencium
puting susunya yang besar dan masih
terbungkus dengan BH-nya yang seksi, berganti-
ganti kiri dan kanan. Tangan Ibu Shinta mengelus
bagian belakang kepalaku dan erangannya yang
tersendat membuatku makin tidak sabar. Aku
menarik lepas celana dalamnya, dan nampaklah
bukit kemaluannya. Akupun segera
membenamkan kepalaku ke tengah ke dua
pahanya. “Ehhh…, mmmhh..”. Tangan Ibu Shinta
meremas jok mobilku dan pinggulnya bergetar
ketika bibir kemaluannya kucumbui. Sesekali
lidahku berpindah ke perutnya dan menjilatinya
dengan perlahan.
“Ooohh.., aduuuhh..”. Ibu Shinta mengangkat
punggungnya ketika lidahku menyelinap di antara
belahan kemaluannya yang masih begitu rapat.
Lidahku bergerak dari atas ke bawah dan bibir
kemaluannya mulai membuka. Sesekali lidahku
membelai klitorisnya yang membuat tubuh Ibu
Shinta terlonjak dan nafas Ibu Shinta seakan
tersendak. Tanganku naik ke dadanya dan
meremas kedua bukit dadanya. Putingnya
membesar dan mengeras. Ketika aku berhenti
menjilat dan mengulum, Ibu Shinta tergeletak
terengah-engah, matanya terpejam. Tergesa aku
membuka semua pakaianku, dan kemaluanku
yang tegak teracung ke langit-langit, kubelai-
belaikan di pipi Ibu Shinta. “Mmmhh…,
mmmhh.., ooohhm..”. Ketika Ibu Shinta
membuka bibirnya, kujejalkan kepala
kemaluanku, kini iapun mulai menyedot.
Tanganku bergantian meremas dadanya dan
membelai kemaluannya. “Oouuuh Ibu Shinta..,
enaaaak.., teruuuss…”, erangku.
Ibu Shinta terus mengisap batang kemaluanku
sambil tangannya mengusap liang
kenikmatannya yang juga telah banjir karena
terangsang menyaksikan batang kemaluanku
yang begitu besar dan perkasa baginya. Hampir
20 menit dia menghisap batang kemaluanku dan
tak lama terasa sekali sesuatu di dalamnya ingin
meloncat ke luar. “Ibu Shinta.., ooohh.., enaaak..,
teruuus”, teriakku. Dia mengerti kalau aku mau
keluar, maka dia memperkuat hisapannya dan
sambil menekan liang kenikmatannya, aku lihat
dia mengejang dan matanya terpejam, lalu..,
“Creet.., suuurr.., ssuuur..”
“Oughh.., Jack.., nikmat..”, erangnya tertahan
karena mulutnya tersumpal oleh batang
kemaluanku. Dan karena hisapannya terlalu kuat
akhirnya aku juga tidak kuat menahan ledakan
dan sambil kutahan kepalanya, kusemburkan
maniku ke dalam mulutnya, “Crooot.., croott..,
crooot..”, banyak sekali maniku yang tumpah di
dalam mulutnya.
“Aaahkk.., ooough”, ujarku puas. Aku masih
belum merasa lemas dan masih mampu lagi,
akupun naik ke atas tubuh Ibu Shinta dan bibirku
melumat bibirnya. Aroma kemaluanku ada di
mulut Ibu Shinta dan aroma kemaluan Ibu Shinta
di mulutku, bertukar saat lidah kami saling
membelit. Dengan tangan, kugesek-gesekkan
kepala kemaluanku ke celah di selangkangan Ibu
Shinta, dan sebentar kemudian kurasakan tangan
Ibu Shinta menekan pantatku dari belakang.
“Ohm, masuk.., augh.., masukin”
Perlahan kemaluanku mulai menyeruak masuk ke
liang kemaluannya dan Ibu Shinta semakin
mendesah-desah. Segera saja kepala kemaluanku
terasa tertahan oleh sesuatu yang kenyal. Dengan
satu hentakan, tembuslah halangan itu. Ibu Shinta
memekik kecil. Aku menekan lebih dalam lagi dan
mulutnya mulai menceracau, “Aduhhh.., ssshh..,
iya.., terus.., mmmhh.., aduhhh.., enak.., Jack”
Aku merangkulkan kedua lenganku ke punggung
Ibu Shinta, lalu membalikkan kedua tubuh kami
sehingga Ibu Shinta sekarang duduk di atas
pinggulku. Nampak kemaluanku menancap
hingga pangkal di kemaluannya. Tanpa perlu
diajari, Ibu Shinta segera menggerakkan
pinggulnya, sementara jari-jariku bergantian
meremas dan menggosok payudaranya, klitoris
dan pinggulnya, dan kamipun berlomba
mencapai puncak.
Lewat beberapa waktu, gerakan pinggul Ibu
Shinta makin menggila dan iapun
membungkukkan tubuhnya dengan bibir kami
saling melumat. Tangannya menjambak
rambutku, dan akhirnya pinggulnya berhenti
menyentak. Terasa cairan hangat membalur
seluruh batang kemaluanku. Setelah tubuh Ibu
Shinta melemas, aku mendorongnya hingga
telentang, dan sambil menindihnya, aku
mengejar puncak orgasmeku sendiri. Ketika aku
mencapai klimaks, Ibu Shinta tentu merasakan
siraman air maniku di liang kenikmatannya, dan
iapun mengeluh lemas dan merasakan
orgasmenya yang kedua. Sekian lama kami diam
terengah-engah, dan tubuh kami yang basah
kuyup dengan keringat masih saling bergerak
bergesekan, merasakan sisa-sisa kenikmatan
orgasme.

1 komentar: